17 Des 2008

>>>>>>>mutiara kata<<<<<<<<<<


"Dengarkan lah apa yg dikatakan musuhmu.....
biasanya mereka mengatakan hal2 negatif tentang dirimu dengan jujur....

Hati-hati pada sahabatmu....
biasanya mereka tak mengatakan dengan jujur apa kekurangan & hal negatif dalam dirimu...”




“Kesukses tidak diukur dari posisi yang dicapai seseorang dalam hidup, tapi dari kesulitan-kesulitan yang berhasil diatasi ketika berusaha meraih itu semua”

“Waktu kamu lahir,

kamu menangis dan orang-orang di sekelilingmu tersenyum.
Jalanilah hidupmu sehingga pada waktu kamu meninggal,

kamu tersenyum dan orang-orang di sekelilingmu menangis.”

Others


Disini saya ingin berbagi hal tentang kehidupan.

Saya boleh dikatakan sangat berpengalaman dalam perkuliahan, bagaimana tidak, yang lain hanya butuh waktu 3,5 tahun, 4 tahun atau paling lama 4,5 tahun untuk menyelesaikan S1, sementara saya sudah lebih dari 5 tahun masih saja berstatus sebagai mahasiswa. Sejujurnya ini bukan karena kelalaian dalam perkuliahan, melainkan karena ketidak siapan diri, baik dari segi pengetahuan maupun kemampuan untuk menyelesaikan tugas akhir.

Setahun yang lalu saya telah seminar judul dan semua lancar-lancar saja sampai pada pembuatan alat (saya mahasiswa jurusan elektronika dengan konsentrasi elektronika komunikasi), ada saja hambatan yang datang, mulai dari komponen yang susah didapat, komponen dengan kode yang sama tidak berfungsi sebagaimana mestinya (padahal komponen itu ada dalam keadaan baik), ditambah lagi dengan program yang rumitnya minta ampun, itu semua belum termasuk hambatan-hambatan yang tak terduga lainnya.

Sempat down berkali-kali, terutama saat teman seangkatan sudah wisuda, kemudian menyusul sebagian junior, hingga butuh waktu untuk menenangkan fikiran dari kejenuhan yang telah berakumulasi. Kira-kira 2 bulan saya tidak melanjutkan penyelesaian alat, paling cuma pembelajaran secara teoritis saja. Saat ini tugas akhir itu masih dalam proses.

Saya sudah terlalu sering berkeluh kesah. Dulu mungkin keluhan itu merupakan pelepasan emosi, tetapi sekarang lebih kepada keinginan untuk berbagi cerita dan dari itu semua saya dapat mengambil pelajaran bahwa “ setiap individu pasti mempunyai hambatan masing-masing untuk menuju kesuksesannya”. Meski pada masa sekolah dulu mungkin boleh dikatakan juga bahwa saya termasuk salah satu yang tidak bisa diabaikan, saat kuliah-pun hal itu masih berlaku. Hingga hambatan itu datang pada saat pembuatan tugas akhir ( entah ini cobaan atau ujian ). Namun tak kan pernah ada kata sesal terucap dari mulut ini, karena itu tak kan merubah apa-apa. Yang bisa dilakukan sekarang hanya menjalani semua dengan apa adanya serta terus berusaha dan berusaha. Semoga dengan ini semua saya menjadi pribadi yang lebih matang nantinya, baik dari segi pemikiran maupun kemampuan. Amien……………..

Cinta Ibu


Cerpen ini dikirimkan oleh seorang teman ke email saya, tidak tau dia dapat darimana dan maksudnya apa, tapi yang pasti cerpen ini merupakan salah satu yang terbaik yang pernah saya baca. Saya tidak tau apakah salah memuat cerpen se2orang diblog, tapi saya sangat ingin semua membacanya agar dapat mengambil pelajaran yang tersirat didalamnya.

Cinta Ibu

Senin, 11 Pebruari 2008

APAKAH cinta benar-benar ada? Inilah yang sering kutanyakan kepada ibuku, dulu, ketika berbulan-bulan menemaninya di sebuah rumah sakit yang dingin dan bisu.


Dengan senyumnya yang menyejukkan, ibu selalu mengatakan, salah satu karunia Tuhan yang tak bisa dihapuskan oleh siapapun adalah cinta. “Kamu bisa membayangkan, Cah Bagus, seandainya di dunia ini tak ada cinta. Seandainya orang-orang hidup tanpa cinta, semuanya akan menjadi besi, patung, gedung-gedung tua dan kemudian ambruk dimakan waktu. Tetapi cinta tidak. Dia adalah bangunan yang akan terus ada, meski kadang kita selalu meragukan keabadiannya...”

Kini, perjalananku sudah setengah lebih. Subuh-subuh tadi aku berangkat dari Pekanbaru sendirian. Aku sengaja mengambil cuti hari ini. Aku ingin hari ini berada di sana, Tongar, kampung terakhir ibuku di Simpang Empat, Pasaman Barat, Sumatera Barat. Ibu ulang tahun hari ini, dan aku ingin ada di dekatnya. Selalu, setiap ulang tahunnya, aku selalu datang ke Tongar, sejak enam tahun lalu. Beberapa hari sebelumnya, aku sudah mengatakan kepada istriku dan aku berharap dia mau pergi. Tetapi pekerjaan di kantornya tak bisa ditinggalkan, dan Palagan, anakku, juga sedang ujian. “Pergilah, katakan kepada ibu, kami tak bisa datang menemanimu. Tapi, bukankah kalian ingin rendesvouz berdua?” kata istriku sambil mencium tanganku, kemudian pipiku. Setelah itu aku mendekati Palagan yang masih tidur, mencium kedua pipinya.

Kukatakan pada istriku, bahwa ada yang aneh dan tak enak kali ini. Tidak seperti biasanya. Setiap aku akan pergi, yang muncul adalah perasaan sumringah. Selain akan datang di acara ulang tahun ibu, aku juga akan pulang ke kampung tempat aku besar sebelum pergi meninggalkannya karena harus bekerja ke kota lain berpindah-pindah. “Semoga tidak terjadi apa-apa. Hati-hati, kalau hujan dan jalan licin, jangan dipaksakan...” kata istriku lagi. Hari memang hujan ketika aku keluar rumah, dan sepanjang jalan, ingatanku tertuju pada ibu yang memilih hidup sendirian sejak tiba di Tongar hingga akhir hayatnya. Setiap aku bertanya mengapa ibu tidak menikah lagi agar memiliki teman ketika aku pergi kuliah ke Padang dan kemungkinan akan meninggalkannya dalam waktu lama ketika berkerja di kota lain, ibu selalu mengatakan bahwa dia sudah punya janji kepada ayah. “Ayahmu menyuruh Ibu berangkat lebih dulu dengan kapal pertama, dan dia akan menyusul dalam kepulangan selanjutnya. Ibu akan tetap menunggunya di sini...” katanya berkali-kali setiap kutanya.



Dia kemudian bercerita. Pada 4 Januari 1954, rombongan pertama kepulangan dari Suriname diberangkatkan dengan menggunakan kapal sewaan KM Langkuas milik perusahaan pelayaran Belanda, (NV Scheepvaart My Nederland.1) Sebelum naik ke atas kapal itulah untuk terakhir kalinya ibu bisa melihat ayah. “Ibu sedang hamil 8 bulan ketika itu. Karena tidak semua keluarga bisa pulang bersama dan ayahmu tidak mendapatkan tiket, akhirnya Ibu disuruhnya pulang lebih dulu bersama kakek dan nenekmu. Dalam perjalanan setelah meninggalkan Semenanjung Pengharapan, kamu lahir di kapal. Ibu sedih karena ayahmu tidak ada ketika itu, tetapi Ibu yakin, ayahmu pasti akan berangkat dengan rombongan selanjutnya...” Tetapi, setelah sekian tahun, ibu akhirnya sadar, bahwa ayah tidak pernah pulang. Ayah berkirim surat, bahwa memang tidak ada lagi kapal yang pulang ke Indonesia. Untuk pulang sendiri, ongkosnya sangat mahal.

Gaji ayah sebagai tukang pos di Paramaribo tidak akan mencukupi untuk membeli tiket karena harus ke Belanda dulu. Ayah minta maaf dan selalu mengatakan kalau dia sangat mencintai ibu dan meminta agar dikirimkan foto kami berdua kepadanya. Hingga bertahun-tahun kemudian ketika ayah memang tak akan pernah kembali, ibu selalu menyimpan keyakinan bahwa ayah tetap akan kembali menyusul kami. Dan bahkan ketika akhirnya surat-surat ayah tak pernah datang lagi dan bertahun-tahun kemudian tak terdengar kabarnya, ibu juga tetap yakin ayah pasti akan menyusul kami di Tongar. “Kita sebaiknya memang harus melupakan ayah,” kataku kemudian. Aku tak bisa membayangkan seperti apa ayahku, karena dalam surat-surat yang dikirimkan kepada ibu, tak pernah disertai foto dirinya, sementara satu-satunya foto yang disimpan di dompet ibu, sudah sangat lusuh dan gambarnya sudah buram. “Ayahmu adalah kekuatan bagi hidup Ibu,” kata ibu sambil tersenyum dan membelai rambutku. Aku sudah tamat SMA ketika itu, dan akan melanjutkan kuliah di Padang. “Ibu menderita karena selalu mengenang ayah...” ucapku kemudian. Ibu menggeleng, dan di sudut matanya keluar butiran bening. “Ayahmu lelaki yang baik, berpendirian, jujur, bertanggung jawab dan selalu menepati janjinya. Ibu jatuh cinta kepadanya karena itu, bukan karena dia anak orang Jawa terpandang di Paramaribo. Kamu menuruni sifat-sifatnya Cah Bagus,” kata ibu lagi, dan butiran bening itu menetes mengenai lenganku.

“Lalu mengapa ayah membiarkan Ibu yang sedang hamil besar pulang sendiri dan tak berusaha untuk selalu bersama Ibu?” suaraku ikut serak. “Semua orang ingin pulang dalam gelombang pertama ketika itu. Yayasan Tanah Air, yang mengurusi kepulangan kami, akhirnya mengambil keputusan, tidak semua anggota keluarga yang bisa pulang bersamaan. Ada yang bisa pulang bersamaan karena lebih dulu mendaftar, dan ada yang harus pulang terpisah. Ketika itu kami semua yakin, mereka yang ingin pulang pasti bisa pulang karena akan ada kapal lagi untuk gelombang kedua...” “Dan kapal itu tidak pernah ada lagi, Bu?”
Ibu memandangku. “Iya....” katanya. “Dan ayahmu ternyata tidak bisa menyusul kita di sini...” suaranya terdengar lirih dan serak, menahan tangis. “Tapi Ibu selalu yakin, ayahmu pasti akan menyusul kita di sini...” Hampir tengah hari, aku sudah melewati Bukittinggi dan sebentar lagi akan sampai di Danau Maninjau. Kabut tebal menutup Maninjau dari pemandangan Kelok Ampek-ampek2). Air danau yang biasanya tenang, tak terlihat dari atas bukit. Terlihat di setiap kelokan ada rambu-rambu bertuliskan “Hati-hati”, karena di kelokan ini sering terjadi kecelakaan. Setiap akan ke Tongar, aku memilih melewati jalan memotong ini karena setelah Maninjau, akan sampai ke simpang dekat Lubuk Basung dan setelah itu jalan akan lurus sepanjang lebih kurang 70 Km menuju Tongar. Dari Bukittinggi, ada tiga jalan menuju Tongar. Selain lewat Maninjau, ada jalan lewat Simpang Lubuk Alung melewati Padangpanjang dan Sicincin yang nantinya akan sampai ke simpang Lubuk Basung. Jalan lainnya adalah dari Bukittinggi menuju Lubuk Sikaping, dan baru menuju Simpang Empat. Kedua jalan ini lebih jauh.

Ketika aku tamat SMA dan kemudian melanjutkan kuliah di Padang, berat rasanya meninggalkan ibu sendirian. Namun kakek dan nenek serta saudara-saudara ibu meyakinkanku bahwa ibu akan baik-baik saja bersama mereka. Jarak Tongar dengan Padang tidak terlalu jauh, dengan bus sekitar lima jam, dan hampir setiap bulan aku pulang. Ibu sering bercerita, ketika aku kecil dan sekian tahun tak ada tanda-tanda ayah akan menyusul kami, kakek dan nenek selalu mendesak agar ibu menikah lagi karena banyak laki-laki yang menginginkan ibu. Aku tahu, ibu sangat cantik. Bahkan di masa tuanya, garis-garis kecantikannya mengingatkanku pada seorang bintang film yang main di film The House of The Spirits dan Out of Africa, Marryl Streep.

Kata ibu ketika itu, “Mereka tak tahu apa itu cinta dan nikmatnya menyimpan harapan sepanjang hidup. Kalau Ibu mau, Ibu bisa mendapatkan lelaki seperti apapun yang Ibu inginkan. Tetapi lelaki yang selalu Ibu inginkan hanyalah ayahmu. Cah Bagus, jika kamu memiliki cinta untuk seseorang, kejarlah cinta itu dan jangan lepaskan. Kamu akan bahagia bersama cinta itu, meski akhirnya suatu saat kalian akan terpisah...” Aku hanya mengangguk ketika itu dan masih sempat melihat ibu menoleh ke arah lain. Matanya basah.

Ketika aku tamat kuliah dan mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan pengeboran minyak di Pekanbaru, aku ingin membawa ibu ikut bersamaku. Ketika itu, ada perusahaan perkebunan sawit yang mengincar tanah orang-orang Tongar dan sekitarnya yang akan dijadikan perkebunan dan mereka telah mendapat izin dari pemerintah, hanya saja penduduk Tongar berkeras menolaknya. Aku tidak ingin ibu ikut dalam konflik itu. Namun ibu menolaknya dan mengatakan dia akan tetap di Tongar, dia ingin ketika ayahku datang, dia ada di sana. Hatiku tersayat mendengar itu. Begitu besarnya cinta ibu untuk ayah. Adakah seseorang yang mencintai hingga seperti itu? Namun ketika ibu mulai sakit-sakitan, aku memaksa membawanya ke Pekanbaru meski ibu menolaknya. Aku tahu, aku telah mencabut semua impian dan harapannya ketika akhirnya aku merawatnya di sebuah rumah sakit di Pekanbaru. Aku hanya ingin dekat dengannya. Ibu selalu mengatakan, jika nanti dia meninggal, dia ingin dimakamkan di Tongar, dekat dengan makam kakek dan nenek.

Dan pada sebuah malam, setelah sekitar dua bulan dirawat, ibu mengatakan tiba-tiba sangat rindu kepada ayah. “Ibu tadi malam bertemu ayahmu. Dia mengajak ibu pulang ke Tongar...” Ibu kemudian mengusap rambutku, “Kamu harus ingat, cinta yang membuat orang hidup bahagia atau tidak. Bukan pekerjaan yang mapan, harta yang melimpah dan semua kesenangan. Cinta, Cah Bagus...”

Esoknya, aku mengantarkan jenazah ibu ke Tongar karena ketika dia mengusap rambutku perlahan-lahan, aku tertidur, dan paginya ketika aku bangun, tangan ibu masih di kepalaku. Kulihat matanya terpejam dan bibirnya menyunggingkan senyum. Tetapi aku sadar, ibu telah benar-benar meninggalkanku. Aku sudah sampai Simpang Empat, dan dalam hitungan menit, aku akan sampai ke Tongar. Sejak dari Simpang Lubuk Basung tadi, hujan terus turun meski tidak terlalu deras. Langit menghitam sepanjang perjalanan melewati hamparan kebun sawit yang kini mulai berbuah. Setiap tahun aku pulang melewati jalan ini, memang selalu ada perubahan pada pokok-pokok sawit itu.

Namun, ketika sampai di Simpang Air Gadang menuju Tongar, aku melihat keanehan. Keanehan itu semakin nyata ketika aku benar-benar memasuki Tongar. Terlihat hamparan luas tanah bekas geledoran buldozer dengan sawit-sawit muda dan baru tumbuh, nampaknya belum lama ditanam. Cepat-cepat aku menginjak gas mobil menuju tempat pemakaman umum di mana makam ibu dan keluarga besar kami ada di sana. Dan aku benar-benar tercekat ketika melihat pemandangan itu. Pemakaman umum itu telah rata dengan tanah, dan sawit-sawit muda telah tumbuh di atasnya.

Cepat-cepat aku memutar mobil dan berusaha mencari tahu di mana makam-makam itu dipindahkan. Dan ledakan tangisku tak bisa kucegah ketika Om Maksum, adik ibu, menjelaskan bahwa ketika masyarakat masih berusaha mempertahankan tanah mereka, malam hari beberapa bouldozer telah meratakan kuburan itu dan tak ada yang sempat memindahkan kuburan keluarganya. “Maafkan kami. Kami juga tak sempat memindahkan makam ibu, juga kakek dan nenekmu...”

Hujan semakin deras, dan seperti orang gila, aku berlari ke sana-sini di bekas makam yang kini ditanami sawit itu. Kucabuti sawit-sawit itu dan kulemparkan ke segala arah. Aku menangis sejadi-jadinya dan kemudian terduduk di tanah basah yang telah menjadi lumpur. Haruskah aku menggali seluruh tanah bekas pemakaman ini untuk mencari kerangka ibu? Senja sudah hampir habis, namun hujan tak juga berhenti. Ketika hari benar-benar gelap, Om Maksum dan beberapa orang kampung datang dan bermaksud mengajakku pulang. Namun, dengan suara nyaris tak terdengar, kukatakan pada mereka, “Biarkanlah aku di sini. Aku ingin menemani ibu malam ini. Ibu ulang tahun hari ini...”