Cerpen ini dikirimkan oleh seorang teman ke email saya, tidak tau dia dapat darimana dan maksudnya apa, tapi yang pasti cerpen ini merupakan salah satu yang terbaik yang pernah saya baca. Saya tidak tau apakah salah memuat cerpen se2orang diblog, tapi saya sangat ingin semua membacanya agar dapat mengambil pelajaran yang tersirat didalamnya.
Cinta Ibu
Senin, 11 Pebruari 2008
APAKAH cinta benar-benar ada? Inilah yang sering kutanyakan kepada ibuku, dulu, ketika berbulan-bulan menemaninya di sebuah rumah sakit yang dingin dan bisu.
Dengan senyumnya yang menyejukkan, ibu selalu mengatakan, salah satu karunia Tuhan yang tak bisa dihapuskan oleh siapapun adalah cinta. “Kamu bisa membayangkan, Cah Bagus, seandainya di dunia ini tak ada cinta. Seandainya orang-orang hidup tanpa cinta, semuanya akan menjadi besi, patung, gedung-gedung tua dan kemudian ambruk dimakan waktu. Tetapi cinta tidak. Dia adalah bangunan yang akan terus ada, meski kadang kita selalu meragukan keabadiannya...”
Kini, perjalananku sudah setengah lebih. Subuh-subuh tadi aku berangkat dari Pekanbaru sendirian. Aku sengaja mengambil cuti hari ini. Aku ingin hari ini berada di
Kukatakan pada istriku, bahwa ada yang aneh dan tak enak kali ini. Tidak seperti biasanya. Setiap aku akan pergi, yang muncul adalah perasaan sumringah. Selain akan datang di acara ulang tahun ibu, aku juga akan pulang ke kampung tempat aku besar sebelum pergi meninggalkannya karena harus bekerja ke
Dia kemudian bercerita. Pada 4 Januari 1954, rombongan pertama kepulangan dari
Gaji ayah sebagai tukang pos di
“Lalu mengapa ayah membiarkan Ibu yang sedang hamil besar pulang sendiri dan tak berusaha untuk selalu bersama Ibu?” suaraku ikut serak. “Semua orang ingin pulang dalam gelombang pertama ketika itu. Yayasan Tanah Air, yang mengurusi kepulangan kami, akhirnya mengambil keputusan, tidak semua anggota keluarga yang bisa pulang bersamaan.
Ibu memandangku. “Iya....” katanya. “Dan ayahmu ternyata tidak bisa menyusul kita di sini...” suaranya terdengar lirih dan serak, menahan tangis. “Tapi Ibu selalu yakin, ayahmu pasti akan menyusul kita di sini...” Hampir tengah hari, aku sudah melewati Bukittinggi dan sebentar lagi akan sampai di Danau Maninjau. Kabut tebal menutup Maninjau dari pemandangan Kelok Ampek-ampek2). Air danau yang biasanya tenang, tak terlihat dari atas bukit. Terlihat di setiap kelokan ada rambu-rambu bertuliskan “Hati-hati”, karena di kelokan ini sering terjadi kecelakaan. Setiap akan ke Tongar, aku memilih melewati jalan memotong ini karena setelah Maninjau, akan sampai ke simpang dekat Lubuk Basung dan setelah itu jalan akan lurus sepanjang lebih kurang 70 Km menuju Tongar. Dari Bukittinggi, ada tiga jalan menuju Tongar. Selain lewat Maninjau, ada jalan lewat Simpang Lubuk Alung melewati Padangpanjang dan Sicincin yang nantinya akan sampai ke simpang Lubuk Basung. Jalan lainnya adalah dari Bukittinggi menuju Lubuk Sikaping, dan baru menuju Simpang Empat. Kedua jalan ini lebih jauh.
Ketika aku tamat SMA dan kemudian melanjutkan kuliah di
Kata ibu ketika itu, “Mereka tak tahu apa itu cinta dan nikmatnya menyimpan harapan sepanjang hidup. Kalau Ibu mau, Ibu bisa mendapatkan lelaki seperti apapun yang Ibu inginkan. Tetapi lelaki yang selalu Ibu inginkan hanyalah ayahmu. Cah Bagus, jika kamu memiliki cinta untuk seseorang, kejarlah cinta itu dan jangan lepaskan. Kamu akan bahagia bersama cinta itu, meski akhirnya suatu saat kalian akan terpisah...” Aku hanya mengangguk ketika itu dan masih sempat melihat ibu menoleh ke arah lain. Matanya basah.
Ketika aku tamat kuliah dan mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan pengeboran minyak di Pekanbaru, aku ingin membawa ibu ikut bersamaku. Ketika itu, ada perusahaan perkebunan sawit yang mengincar tanah orang-orang Tongar dan sekitarnya yang akan dijadikan perkebunan dan mereka telah mendapat izin dari pemerintah, hanya saja penduduk Tongar berkeras menolaknya. Aku tidak ingin ibu ikut dalam konflik itu. Namun ibu menolaknya dan mengatakan dia akan tetap di Tongar, dia ingin ketika ayahku datang, dia ada di
Dan pada sebuah malam, setelah sekitar dua bulan dirawat, ibu mengatakan tiba-tiba sangat rindu kepada ayah. “Ibu tadi malam bertemu ayahmu. Dia mengajak ibu pulang ke Tongar...” Ibu kemudian mengusap rambutku, “Kamu harus ingat, cinta yang membuat orang hidup bahagia atau tidak. Bukan pekerjaan yang mapan, harta yang melimpah dan semua kesenangan. Cinta, Cah Bagus...”
Esoknya, aku mengantarkan jenazah ibu ke Tongar karena ketika dia mengusap rambutku perlahan-lahan, aku tertidur, dan paginya ketika aku bangun, tangan ibu masih di kepalaku. Kulihat matanya terpejam dan bibirnya menyunggingkan senyum. Tetapi aku sadar, ibu telah benar-benar meninggalkanku. Aku sudah sampai Simpang Empat, dan dalam hitungan menit, aku akan sampai ke Tongar. Sejak dari Simpang Lubuk Basung tadi, hujan terus turun meski tidak terlalu deras. Langit menghitam sepanjang perjalanan melewati hamparan kebun sawit yang kini mulai berbuah. Setiap tahun aku pulang melewati jalan ini, memang selalu ada perubahan pada pokok-pokok sawit itu.
Namun, ketika sampai di Simpang Air Gadang menuju Tongar, aku melihat keanehan. Keanehan itu semakin nyata ketika aku benar-benar memasuki Tongar. Terlihat hamparan luas tanah bekas geledoran buldozer dengan sawit-sawit muda dan baru tumbuh, nampaknya belum lama ditanam. Cepat-cepat aku menginjak gas mobil menuju tempat pemakaman umum di mana makam ibu dan keluarga besar kami ada di
Cepat-cepat aku memutar mobil dan berusaha mencari tahu di mana makam-makam itu dipindahkan. Dan ledakan tangisku tak bisa kucegah ketika Om Maksum, adik ibu, menjelaskan bahwa ketika masyarakat masih berusaha mempertahankan tanah mereka, malam hari beberapa bouldozer telah meratakan kuburan itu dan tak ada yang sempat memindahkan kuburan keluarganya. “Maafkan kami. Kami juga tak sempat memindahkan makam ibu, juga kakek dan nenekmu...”
Hujan semakin deras, dan seperti orang gila, aku berlari ke sana-sini di bekas makam yang kini ditanami sawit itu. Kucabuti sawit-sawit itu dan kulemparkan ke segala arah. Aku menangis sejadi-jadinya dan kemudian terduduk di tanah basah yang telah menjadi lumpur. Haruskah aku menggali seluruh tanah bekas pemakaman ini untuk mencari kerangka ibu? Senja sudah hampir habis, namun hujan tak juga berhenti. Ketika hari benar-benar gelap, Om Maksum dan beberapa orang kampung datang dan bermaksud mengajakku pulang. Namun, dengan suara nyaris tak terdengar, kukatakan pada mereka, “Biarkanlah aku di sini. Aku ingin menemani ibu malam ini. Ibu ulang tahun hari ini...”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar